Puisi-Puisi Karya Galeh Pramudianto, Sekenario Menyusun Antena
Puisi-Puisi Karya Galeh Pramudianto, Sekenario Menyusun Antena.
Selamat pagi dan salam sehat selalu sepertu judul artikel diatas pada kali ini
kami akan memberikan puisi-puisi garapan Galeh Pramudianto untuk mengetahui
lebih detail tentang sosok beliau marilah kita simak kutipanya secara lengkap berikut ini. Tentang Galeh Pramudianto. Galeh
pramudianto lahir di Jakarta, 20 Juni 1993. Menempuh Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta. Menulis puisi, naskah drama,
esai dan skenario. Puisinya tersebar di berbagai media daring dan antologi
bersama. Skenario Menyusun Antena adalah kumpulan puisinya yang pertama.
Skenario Menyusun Antena terdiri atas 3 bagian, yaitu Skenario Menyusun Antena
(57 puisi), Fabula dan Simptom Kamar (42 puisi) dan Layar Itu Tak Sempat
Mengunjungi Kabar Engkau (32 puisi).
Puisi-Puisi Karya Galeh Pramudianto, Sekenario Menyusun Antena, Sepilihan puisi Galeh
Pramudianto dalam Skenario Menyusun Antena
KAWAT BERDURI
1998. aku jalan-jalan saja.
kawat berduri. aku makan-makan saja.
bakar-bakar. aku jalan-jalan
saja. koyak-moyak, kebiri. aku
makan-makan saja. gas air
mata. aku ongkang-ongkang kaki saja.
baku hantam. aku baca buku
saja. jarah! sejarah tak akan
bernanah. aku nonton televisi
di atas genteng rumah. berdarah-
darah. aku mandi pake sabun
saja. bising politik, gaduh suara-
suara. aku belum lahir saja.
aku masih aku yang lain di
demonstrasi uang jajan membeli
mobil-mobilan. ini bukan aku
saja. maaf, aku masih bau
pasar dan kamar di congor dan tengik
riwayatku sendiri.
TINGGAL BAHASA
Aku rindu eskalator yang
membawaku sampai di lembah baju-
baju. Kentang goreng, susu
kotak, dan jus melon merekah dalam
kantong belanjaan. Aku rindu
ruang merokok, yang
menggendongku beristirahat
pada pekat polusi kota,
menenangkan dalam sebungkus
hisap lesap.
Aku rindu pada ibu yang
berbincang dengan kliennya bersama
donat dan moccacino di sudut
ruko-ruko. Aku rindu bertemu Wiji
dan Warhol. O, apa mereka
sarapan satu meja? Aku rindu pada
billboard di bulevar,
menyalak, memeluk tubuh haus ini dalam
dekapan kaleng soda. Di praja
aku tertinggal oleh lampu-lampu,
ditawan kartu kredit dan
dijajah gosip-gosip. Kini hanya
bahasaku sahaja yang masih
setia mengampu.
HANYA ENGKAU YANG BISA
MEMBERI JUDUL SAJAK INI
Rumah itu kosong. Tak ada lagi
proyek-proyek. Cerobong asap
sudah mencair.
Engkau berbudaya ya? Tidak,
aku barbar dan primitif.
Aku masih pada kiblatmu.
Begini ya, engkau harus tahu
banyak dari aku-aku lainnya.
Tahu itu akan mendarat pada
dirimu sendiri.
Begini ya, hanya engkau yang
bisa memberi judul di sajak ini
Apa engkau masih percaya pada
suara-suara dirimu sendiri
sayang?
Aku masih percaya, hanya
engkau.
Hanya engkau yang bisa memberi
judul di sajak ini
maka, letakkan kembali otakmu
ke pangkuannya
jangan kau jemur selalu,
kering kerontang dapat
melelehkan pikiranmu.
Kasihku, kumohon beri judul
pada sajak ini
Kalau tidak, nanti aku bisa
tenggelam di antara sajak-sajakku
sendiri.
HOTEL
bunyi langkah kaki di tengah
perut membal
suara dari luar mengetuk,
pesanan datang.
mulutmu bau, oleh cuaca yang
sering kamu manjain
suapaya kamu bisa makan dengan
menu berbeda setiap hari.
bunyi seruan virtual di bawah
kantung mata
telingamu budek, oleh suara
yang menghasutmu
agar terus mondar-mandir tanpa
bibir
bintik-bintik berkilauan,
semilir angin menyibak.
bunyi kertas berserakan di
atas lubang merah
jas dan koper berkeliaran
belum pada tidur
menjaga kita dari macam-macam
kesibukan
bunyi jam dinding di samping
jendela
badamu apek, oleh waktu yang
sering kamu godain karena detik
bisa kamu ubah lewat jam
tanganmu. wisata jarum ke jarum.
otakmu beku, oleh kota yang
sering kamu pukulin karena
empuknya bukan main. lalu,
kapan aku mampir ke dusun
surgamu?
AIUEO
seringkali kita bersuara
pada banyak muka romantika
yang kau tanam di paru-paru,
dan diluapkan lewat horison
menggema bersama mega, angka
dan peristiwa-peristiwa.
KAU SELALU INGAT
kau selalu ingat dengan
perjumpaan mata yang tiba-tiba
di sudut rak buku perpustakaan
kutemui kau dalam sunyi yang
gaduh
yang tenang dalam pandangan,
yang berisik dalam gemuruh
jantung
kau selalu ingat dalam lautan
wacana,
yang mengabdi pada kalimat
padat
senantiasa memeluk kita dari
kepayahan makna
kau selalu ingat pada halaman
berapa kita dipertemukan buku
lalu bersimpuh pada lipatan
kertas yang aku tandai
bersama jari lentikmu
kau selalu ingat lewat jalan
mana kita akan tiba pada rumah
yang kita bangun beratap pada
dongeng,
berbantal peribahasa
dan berselimut puisi
kau selalu ingat akan ingatan
yang suka lenyap
diterkam kebuasan jam tangan
yang telah kehabisan baterai
karena aku malas menggantinya
dengan yang baru
kau selalu ingat pada bab dan
paragraf berapa kita tersesat
dalam peran yang mencoba
menculik kita
lewat asa dan subteks
yang kita kunyah sehari-hari
kau selalu ingat akan
pertunjukan-pertunjukan kitsch
yang kita tonton karena hanya
merasa tidak enak saja
terhadap undangan teman yang
dialamatkan
pada kita
kau selalu ingat di malam
cepat saji, berlaut telur mata dingin
dan cerita-cerita yang sulit
diterka
karena terlalu asin telur mata
dingin
dan terlalu manis minuman
yang awalnya dipesan tanpa
gula saja
kau selalu ingat bersama
ingatan kita yang mulai lumpuh
diserang kawanan hanyut dan
takut. kau masih ingat.
BIOGRAFI 60 DETIK DIMULAI
DARI SEKARANG
Dalam hulu kata, aku telan
bersama pijakan otak dan tubuhnya.
Di Lapangan Padat Malna
Di lapangan tandus, ada
gedung-gedung bertingkat tumbuh di dadanya.
Langkah Landas Mas Iswadi
Di Cikini dan Kalibata.
Kutipan orang gila di latihan. Cakra.
Taksu. Klakson di punggung
mereka, dada di badan menyamar.
Meteor dan galaksi dalam
sebungkus mi instan. Kopi menyulam,
dan rokok yang ditangguhkan.
Lorong hening. Haru bening.
Bilik Pramoedya
Ia kentalkan mata pada halaman
pekat perjuangan
Dalam Celana dan Kopi Jokpin
Dalam celana, ia sahur kopi
dan membatalkan puasanya lewat puisi
Pada Basah Sapardi
Pada basah, ada air dari
langit pada genggaman topinya.
Terselip huruf kecil memandang
dari balik kacamata. Pada
basah ada berita becek di meja
laptopnya
Di Sudut Meja Goenawan
Ada air mengalir dalam
kekanakan matur tempat pensil dan
robekan kertasnya.
Di Teras Tempat Sitor
Darah mengalir dari saku baju
yang terbuat dari kota, bangsa dan
kepulangan kesekian kalinya
Dalam Rambut Saut
Tersesat ribuan kilometer
dalam pijar lampu dan akar tumbuh
subur di kepalanya
Celah-celah Kang Iman
Mengolah abdi di keramaian
pagi yang khusyuk
Kacamata Bang Madin
Drama dan peristiwa, membangun
teman dan taman-taman
Almanak Nano
Kalender kian bersepakat
dengan jadwal tidurnya
Instagram Agus Noor
Cerita lahir dari citra padat.
M Aan Mansyur
“Huruf besar telah mati!”
katanya kepada tuhan, menolak
keangkuhan.
Bakti Bakdi
Senandika pada yang seni
Rencana Drama
Rencana Rendra sebagian atau
sudah semua dilakukan
Ayat Tambayong
Surah-nya dibaca secara
seksama dengan seterang rambutnya
kata
Baju Ungu Bunda
Di baju ungunya, ada gema
nurani berpantul di kancing baju dan
mata ketiganya. Anak duka dari
bom perang, memeluknya
bersama mujahid kata.
Trisno Sumardjo
Mahakarya tersembunyi dalam
gaduhnya seni-seni
Simulasi Baudrillard
Aku beli televisi di dalam
Disneyland pagi hari
Absurditas Camus
Bolak-balik gunung, lelah
mendarat pada asing yang
memberontak.
Dalam hilir dan obituari kata,
kusumpahi sajak yang angkuh dan
sok tahu ini.
SALJU DI LOTENG TETANGGA : Arman Dhani, Adimas Immanuel
& Andi Gunawan
reklame melantunkan
decit-decit risau
spanduk menggugurkan rona,
parasnya menebarkan peluh
dalam jari-jari dan angin
malam
khatam coba turun menyibak
rinai
menunaikan senyap peranjat di
layar dan snob itu.
nyeri telah setia pada hari
berulang-ulang kali
macapat menggoreng sentak
dingin dan piruk liuk
meringkuk menonton tirai dan
salam badai
yang aku bertanya pada
kecemasan melipat dada.
ada butir salju di wajan
nyiprat itu
buihnya memantik-mantik di
kaca-kaca
di atas loteng, di bawah
tempat duduk
peneroka membaca kita di
sepi-sepi hingar ini.
KAMAR GOSOK
baju-baju menggosok tubuhnya
sendiri:
menjual basah dan keriput pada
lipatan bahannya
lecak dan bercak pada
sudut-sudut keramaian
meminta wangi pada tumpukan
keringat kita.
RUANG OPERASI
ananda, jarum suntik itu masih
meliuk dan tak mau pamit. ada dua
yang kau inginkan:
tak ada rotan cari ke hutan
atau menang jadi pulang, kalah jadi
tanah.
KWATRIN AVONTUR
Alam tak perlu kau bela
Mereka tahu kemana nasibnya
Seperti debu yang datang tiap
waktu
tak perlu kita mandikan
selalu.
SINYAL TEH DAN ANTENA KOPI
kau adalah secangkir hangat
menenangkan memijat
tenggorokan kerap kemarau
kau adalah seteguk rusuk
mengaduk sunyi bersama pagut
bersamamu kita duduk menata
gula,
hingga anyir itu nestapa dan
moksa
kau adalah teh yang aku sesap
sebelum purnama jatuh
aku adalah kopi yang kau peluk
sebelum matari menari.
HALO
– dari riwayat telepon
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan telepon?
Oh, maaf salah sambung.
Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
Halo!
Iya? Ini siapa?
Halo. Kenapa?
Iya! Ini siapa?
Halo! Ya.
Ya. Ada apa? Ini siapa?
Bisa bicara dengan halo?
Oh, maaf, halo sedang
jalan-jalan.
Halo! Halo! Halo!
Tut. Tut. Tut.
SWAFOTO
Tanganmu basah. Meja makannya
banjir. Selfie. Lautnya kering.
Pasirnya tandas. Selfie.
Gunungnya terbang. Pohonnya dansa.
Selfie. Mobilnya minjam.
Rodanya bundar. Selfie. Panggungnya
roboh. Lampunya tandas.
Selfie. Bajunya basah. Keringatnya
kering. Selfie. Rumputnya ranggas. Sayap belalang patah.
Selfie.
Kotanya olahraga. Jalan tidur
siang. Selfie. Rambutnya belum
keramas. Ketombe perang.
Selfie. Keringatnya loncat. Jerawat
debat. Selfie. Nasinya belum
matang. Piring belum dicuci. Selfie.
Buku belum dibaca. Kata-kata
sidang isbat. Selfie. Bon lecek.
Angka-angka muncrat. Selfie.
Kameranya lagi dipinjam. Tangan
keseleo. Selfie. Mukanya lagi
disewa. Mata sedang kondangan.
Selfie. Fotonya nyebur ke
sumur. Bayangannya tamasnya ke pusat
perbelanjaan di desa. Selfie
menuju 30 detik dari sekarang.
ADI
mereka meyakini, semakin ke
sini
manusia tidak membutuhkan
kitab-kitab
rumah ibadat dan nabi. karena
mereka tau
kitab-kitab, rumah ibadat, dan
nabi telah menjelma:
jalan layang, hotel, buku,
sekolah, dan telepon genggam
yang bisa ditemui untuk
berkonsultasi
sambil ngopi di meja kerja-Nya
SKENARIO ARUS MUDIK
Jika ingin menemani, maka
doa-doa dan rezeki dari manusia desa
ke kota, kota ke desa akan
tiba pada perjamuan tiap tahun itu, kata
manusia-manusia. Napas ke
napas, langkah ke langkah, umur ke
umur mengepung jalanan tiap
lebaran. Tak peduli siapa, apa,
bagaimana, berlayar ke
pangkuan genus lahir adalah ritual. Orang
tua yang kesepian, melambaikan
tangan minta beberapa
percakapan. Teman-teman yang
ramai, melonjak-lonjak dari
anak ke anak. Pohon-pohon dulu
masih bibit, telah tumbuh
melampaui waktu-waktu. Kambing
dan sapi terus bernyanyi
meski suaranya limbung.
Sumur-sumur belum kering dari air
pertama kali mandi saat lahir.
Mereka: menabung keringat dan
darah dalam gempita klakson
dan rapat-rapat kendaraan.
Bagaimana denganku? Haruskah
aku menonton saja di layar kaca
tentang jalanan yang tak
pernah tidur, kecelakaan yang tak surut
dari ban ke ban, bemper ke
bember, dan tangan kepada kepala
yang bertubrukan?
Oh, kawan. Kau sepertinya
belum piknik, ya?
SKENARIO MENYUSUN ANTENA
1.Skenario Antena Kedai
Kopi yang belum disiram ke
matamu akan berakar menjadi
pohon kopi di bawah kantung
matamu. Teh yang belum
dikeringkan di tenggorokanmu,
akan tumbuh menjadi batang
kaki di lenguhan pagi kian
larut. Sirup di kedua lenganmu
meminta lebih agar mampu
mencapai pipi di kedalaman gigimu.
Susu di punggungmu, menatap
saya lembut tanpa tahu bahwa
saya yang akan mengajakmu
menenun ingatan lewat kardus
genggam yang suka saya bawa di
kala punggung saya terbakar
haus. Sari buah yang kautanam
di pelintiran lidahmu, berlomba
memijat kerongkonganmu dari
rasa pahit karena saya suka
bertamu meninggalkan pasir
waktu.
Kenapa? Kamu takut dengan
orang-orang baru yang tiada pernah
kamu temui sebelumnya? Tidak
perlu, yang kamu butuhkan
hanya kepercayaanmu kepada
saya secara bulat dan terang.
Terang saya akan menjelaskan
kenapa kamu butuh ikut dengan
saya agar pikiranmu tidak
buram oleh semilir polusi. Polusi di
di wajahmu kian kentara akan
menghapus bayang tubuhmu
seluruhnya. Coba kamu pikir lagi,
saya tiada akan merenung saja
di kabin tolilet, dua meter
dari wastafel yang ingin menemui saya
dengan wajah kisut menendang.
Saya tidak hanya menunggu
keran di teras lumut itu
mengeras. Saya ingin agar kamu mengerti
maksud saya tanpa saya harus
memaksa lebih lanjut yang
bermuara pada perkara tentang
kenapa kamu masih terus
menanyakan saya yang jelas
kamu tahu bahwa saya sebenarnya
juga ingin mengikuti saya dari
balik kemeja biru itu. Saya tak
ingin bertengkar lagi dengan
saya. Saya yang lain coba membuka
pintu, tapi awan itu enggan
menutup sumur air mata.
2. Skenario Antena Pasar
Sesungguhnya saya tiada
menanti hujan. Hujan datang memeluk
kamu dari belakang. Menggoda
punggungmu melawan kail es
krim di pameran jas hujan
berdiskon sembilan puluh persen. Es
krimnya meleleh, rumah ibadah
banjir karena orang-orang
banyak meneduh dari hujan es
krim itu. Es krim itu menemuimu
dalam keadaan telanjang.
Kameja biru yang kamu pakai masih
menggantung di toilet. Saya
menunggu di gerbang rumahmu.
Rumah itu warnanya masih
hijau, ada pohon kelapa
menggantung di atap rumahmu.
Kalau kamu mudah haus, maka
salon adalah tempat yang tepat
untuk berlibur dari gurun basah
bibirmu. Saya ingin ke
perpustakaan yang isinya sejarah celana
jin, riwayat mantel dan kaos
oblong, hikayat vidoe game,
reportase bioskop tengah
malam, hagiografi nasi goreng, fabel
foto rupa kita dalam kotak,
ensiklopedi burger dan kebab,
legenda kendaraan mematung,
dongeng batu-bata dan
penggorengan, mitos angkat
beban, novel die cast dan action
figure, serta cerita pendek
lift dan eskalator.
Rasa lapar adalah bumbu setiap
hidangan. Tidak ada yang patut
diperdebatkan menyangkut
selera. Kamu yang menyukai teh
tanpa gula atau aku, kopi
tanpa cangkir. Aku bukan, aku adalah,
aku bukan, aku tidak peduli.
Saya bukan pakaian yang memberi
arti pada seseorang, akan
tetapi saya yang memberi arti pada
pakaiannya. Green tea. Teh
warna rumput jangan lupa. Aku tidak
pernah lupa, yang lupa adalah
aku, bukan saya.
Kamu mau ke Disneyland dulu
apa ke pasar malam yang juga ada
wahana? Saya kasih pilihan.
Kalau kamu mau ke Disneyland,
kamu jangan lupakan wahana di
negeri ini. Jadi, kamu harus ke
pasar malam dekat rumahku dulu, baru kamu boleh ke
Grand
Indonesia. Di pantai ada
bayanganmu, tapi tidak ada pasir
berwajah kita. Airnya makin
keruh karena kita lupa mencuci baju
bekas basah air tadi sore.
Atau kita coba ke pusat
kebugaran. Ada barbel, sepeda, jungka-
jungkit, dan alat-alat pemoles
badan agar kian jadi dan
menggemaskan. Sehat, loh.
Kalau tidak sehat nanti kamu mati
keracunan polusi kendaraan dan
makanan yang biasa kita makan
di kafe itu. Di kafe,
orang-orang banyak membicarakan konsumsi
dan reproduksi. Saya bisa
makan, kau bisa bangun restoran dari
obrolan kita tengah malam.
Sambil bermain game di ponsel kita
masing-masing, kita bangun
jejaring kita lewat hobi dan
keahlianmu itu ya, sayang.
Jangan lupa dompetmu dijemur,
matahari sebentar lagi kabur.
3. Skenario Antena Layar
Kamu tahu? Ada yang diam-diam
meminjam tubuhmu dari pagi
yang belum datang. Ia menikam
hidungmu dari balik subuh dan
fajar. Lehermu beku karena
kehabisan oksigen. Daun telingamu
mencoba berfotosinteis dari
tubuh saya, tapi saya berlari sekuat
tenaga menjauh dari tiga puluh
meter kini. Saya dan kamu tiada
bertemu, tapi aku berhasil
meminjam tubuhmu. Kamu berlari
menujuku, tiada ingin lepas
tubuhmu diambil saya. Dari tiga
puluh meter itu, kini
berkurang hingga tiga meter di samping
saya. Tubuh saya diloncati
oleh tubuhmu yang ada pada diri saya.
Kamu berhasil menagkap tubuh
kamu dari tubuh saya yang ada
pada tubuhmu.
MANIFESTO PSEUDO
Dengar! Kita ini adalah
pemilih sah fragmen gelisah! Halah!
Lagumu. Hidup dari antena ke
antena. Dari senyap ke sengat.
Dari sinyal ke sial. Huailah.
PERTEMPURAN DI MEJA MAKAN
Kita adalah orang dalam
lingkaran. Sendok, garpu dan piring
adalah senjata kita. Kita akan
tanam lemak di sela kebisingan
meja makan. Kita akan mencari
kawanan baru dari kedai ke
kedai. Kita sepertinya akan
memusuhi kenyang dan perut
ngantuk.
SILUET KOTA
Kita adalah orang dalam kotak.
Melancong. Mengambil gunung
dan pantai. Gunung dan goa itu
kita ambil. Gedung-gedung
bertingkat banyak tumbuh dalam
tubuh. Kita akan ambil gedung
itu sesuka kita. Tanpa tandas,
tanpa cemas. Kita ambil semuanya
tanpa takut akan habis. Kita
ambil semua dalam perjalanan
kameramu.
ANATOMI PUSAT PERBELANJAAN
Kita adalah plastik dan tas
yang digotong saban awal bulan. Apa
isi plastik dan tasmu, adalah
apa yang kamu. Mari kita tawaf di
sini. Sebelum satpam mengurung
kita di toilet rumahmu.
DALAM PORTAL JARINGAN
Kita adalah kecemasan yang tak
kunjung reda. Colokan adalah
dewa penyelematmu. Tolong,
kenalkanku pada hutan, daun
dan gunung-gunung itu. Aku
masih antena yang mencari sinyal
nyinyirmu. Seorang sinyal yang
belum pada pertemuan.
ANTENA DI ATAS RANJANG
Kita adalah sepi yang tak
ingin padam. Menyala-nyala pada
pucuk getar dan debar.
Menidurkanmu dalam lelap gamang,
dalam khidmat sarang-sarang.
TIDUR DALAM AKUARIUM
Kita adalah peluk yang belum
tuntas pada perjumpaan tangan.
Dalam kamar aku tenggelam di
layar. Kita adalah tidur yang
belum ngantuk. Kita adalah
meram yang mematuk-matuk.
SIMPTOM SEBELUM TIDUR
mengasah resah
kau boleh gelisah, asal
muaranya indah. ah! pernyataanmu buat
resah. mana bisa gelisah jadi
indah, paling-paling bisa ia hanya
jadi duka menengadah.
fabula dan simptom kamar
bagaimana kabar matamu? ia
melihatku di sudut pintu. gelisah
sepertinya sudah jadi biografi
hari-harimu. tentang esok menyapa
kita dari ketidakpastian,
tentang hari ini mengikatmu dari
kealpaan.
Judul : Skenario Menyusun
Antena, Penulis : Galeh Pramudianto, Penerbit : Indie Book Corner,
Yogyakarta, Cetakan : I, 2015, Tebal : iv + 222 halaman (131
puisi), ISBN : 978-602-3091-17-1 Penyelaras aksara dan penata
letak : Pertiwi Yuliana,Desain sampul dan ilustrasi :
Hanny Atalie Dethasya, Sumber artikel diatas kami
dapatkan melalui pencarian kami di media online semoga bermanfaat