Inilah Puisi Lengkap Karya Subagio
Sastrowardoyo Judul Simfoni Dua
Inilah Puisi Lengkap Karya Subagio Sastrowardoyo Judul Simfoni Dua. Judul : Simfoni Dua Penulis :
Subagio Sastrowardoyo Cetakan : V, 1999 (cet. I: 1990) Penerbit : PT Balai
Pustaka, Jakarta. Tebal : 104 halaman (59 puisi) ISBN : 979-407-264-8 Seri BP
no. 3770 Desain kulit : Swasta Widianusita Simfoni Dua terdiri atas 2 bagian,
yaitu Simfoni I (1957) – 18 puisi dan Simfoni II (1989) – 41 puisi. Tentang
Subagio Sastrowardojo Subagio Sastrowardojo menamatkan studi jurusan sastra
timur Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada dan mempedalam
pengetahuannya pada Department of Comparative Literature Universitas Yale, AS.
Kumpulan puisi: Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo
(1975), Hari dan Hara (1982). Kumpulan cerpennya: Kejantanan di Sumbing (1965).
Buku esainya: Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak
(1980), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989).
Beberapa pilihan puisi Subagio
Sastrowardoyo dalam Simfoni Dua
SAJAK
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam
batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan
sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak
terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama
terbangun:
Hidup ini makin mengikat dan
mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di
rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit
dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada
kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada
pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada
bunuh diri.
NADA AWAL
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang bergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. Tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih.
ADAM DI FIRDAUS
Tuhan telah meniupkan napasnya
ke dalam hidung dan paruku.
Dan aku berdiri sebagai adam
di simpang sungai dua bertemu.
Aku telah mengaca diri
ke dalam air berkilau. Tiba
aku terbangun
dari bayanganku beku:
Aku ini makhluk perkasa dengan
dada berbulu.
Aku telanjangkan perut dan
berteriak:
“Beri aku perempuan!” Dan
suaraku
pecah pada tebing-tebing tak
berhuni.
Dan malam Tuhan mematahkan
tulang dari igaku kering dan
menghembus
napas di bibir berembun. Dan
subuh aku habiskan sepiku pada
tubuh bernapsu.
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan
badanmu di ranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian
ini
datang berulang.
BERILAH AKU KOTA
Pemandangan berulang selalu.
Kabut
tipis mengambang di atas
dusun. Air gemercik
terbentur di batu. Tanpa
berubah.
Lenguh lembu tak bergema dan wajah
kusut terbayang di kolam
berkerut.
Aku tak tahan menyaksikan gerak mati.
Aku ingin lari dan berteriak:
“Berilah
aku kota dengan bising dan
kotornya.
Kembalikan aku ke medan
pergulatan mencari
nafkah dengan keringat
bersimbah di tubuh.
Aku hanya bisa hidup di tengah
masalah!”
Tetapi suaraku seperti tersumbat
di kerongkongan dan kakiku tak
bertenaga
seperti lumpuh.
Aku bisa mati sebelum subuh.
DUNIA KINI TIDAK PEKA
tak ada gunanya bunuh diri
memang
dunia kini tidak peka
sehari lamanya
orang menyayangkan nasibmu
dan melemparkan kesalahan:
kepada binimu
yang selalu bilang kau tak
becus cari duit
kepada anakmu
yang malu bapanya hanya buruh
kecil
kepada majikanmu
yang tidak menaikkan upah
kerja
tapi hanya sehari:
lantas binimu mulai
menjelekkan kamu lagi
sebagai laki tak
bertanggungjawab
lantas anakmu di buku rapor
menghapuskan namamu
yang mencemarkan kehormatan
keluarga
lantas majikanmu bernapas lega
tidak perlu membayar gaji
kepada satu tenaga
kuburmu di pinggir kampung
tinggal terlantar
sebab tak ada yang perduli
siapa kamu dulunya
bunuh dirimu sia-sia
memang
dunia kini tidak peka
MOTIF I
Angan dengan sayapmu gemetar
Kau tak lagi bebas terbang di
alam fantasi.
Tinggallah di lembah di mana
sakit
dan lapar merajalela, di mana
lelaki pergi ke hutan
dipanggil
tak kembali, di mana
kakektua berdoa putusasa
karena takada sorga menanti,
di mana anak pada diam karena
pikiran harus berhenti.
Mata kosong tanpa tanya,
bukankah
ilham indah untuk puisi?
Angan, potonglah kedua sayapmu
Rakyat di lembah hiburlah
dengan mimpi.
SALAM KEPADA HEIDEGGER
Sajak tetap rahasia
bagi dia yang tak pernah
mendengar suara nyawa.
Kata-kata tersembul dari alam
lain
di mana berkuasa sakit, mati
dan cinta. Kekosongan harap
justru melahirkan ilham
yang timbul-tenggelam dalam
arus
mimpi. Biarlah terungkap
sendiri
makna dari ketelanjangan bumi.
Masih adakah tersisa
pengalaman
yang harus terdengar dalam
bunyi?
Sajak sempurna sebaiknya bisu
seperti pohon, mega dan gunung
yang hadir utuh tanpa bicara.
PASKAH DI KENTUCKY FRIED
CHICKEN
Bagaimana akan makan ayam
goreng ini
kalau tiba-tiba aku melihat
bayi
menangis di gendongan – karena
lapar
dan perempuan kurus mengorek
sisa roti
di tong sampah di muka
restoran?
Coca cola terasa kesat di
tenggorokan
ketika teringat kepada
muka-muka ceking
dirubung lalat hijau di gurun
pasir.
Kapan akan berakhir musim
kemarau
di sebelah selatan? – Makhluk
terkapar!
Mari, potong-potonglah tubuhku
dan nikmati dagingku – roti
yang paling putih
dan darahku – anggur yang
paling murni
sampai tinggal hanya
tulang-belulangku lunglai
terkulai di dahan.
Eli, Eli, lama sabakhtani –
Tuhan, Tuhanku,
mengapa kami kau terlantarkan?
AFRIKA SELATAN
Kristos pengasih putih wajah.
– kulihat dalam buku injil
bergambar
dan arca-arca gereja dari
marmar –
Orang putih bersorak:
“Hosannah!”
dan ramai berarak ke sorga
Tapi kulitku hitam
Dan sorga bukan tempatku
berdiam
bumi hitam
iblis hitam
dosa hitam
Karena itu:
aku bumi lata
aku iblis laknat
aku dosa melekat
aku sampah di tengah jalan
Mereka membuat rel dan sepur
hotel dan kapalterbang
Mereka membuat sekolah dan
kantorpos
gereja dan restoran
Tapi tidak buatku
Tidak buatku
Diamku di batu-batu pinggir
kota
di gubug-gubug penuh nyamuk
di rawa-rawa berasap
Mereka boleh memburu
Mereka boleh membakar
Mereka boleh menembak
Tetapi istriku terus berbiak
seperti rumput di pekarangan
mereka
seperti lumut di tembok mereka
seperti cendawan di roti
mereka
Sebab bumi hitam milik kami
Tambang intan milik kami
Gunung natal milik kami
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Sebab mereka kulit putih
dan Kristos pengasih putih
wajah
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak
malam hari
Dan siang terbang mengitari
bangkai
pertapa yang terbunuh dekat
kuil.
Dewa telah mati di tepi-tepi
ini
Hanya ular yang mendesir dekat
sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan
bayang sendiri.
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan
dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.
SODOM DAN GOMORRHA
Tuhan
tertimbun
di balik surat pajak
berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air.
Kita mengikut sebuah all-night
ball
kertas berserak
terompet berteriak
muka pucat mengantuk
asap asbak menyaput mata
tak terdengar pintu diketuk.
Kau?
Yippee!!
Rock-rock-rock.
Jam menunjuk tiga.
PENANTIAN
Di
dalam gelap kamar aku tak bisa
melihat jam dinding menunjuk
pukul berapa.
Yang kutangkap hanya bunyi
tik-tik yang tidak
memberi kepastian masih berapa
lama akan pagi.
Aku menanti bersama buku-buku
di meja dan
baju kumuh yang bergantung di
lemari.
Hujan yang menimpa di atap mengisi kekosongan
dan menjadi sangat berarti.
Penantian mendambakan
kejadian dan nyawa berteriak:
“Terjadilah sesuatu!”
Kilat yang tiba-tiba menyambar
memberi kebahagiaan
yang sejuk tak menentu.
Menanti adalah tugas mulia yang
dilakukan
Kalijaga di tepi sungai sampai
urat akar membelit
jasadnya. Kenikmatan terdapat
dalam hilangnya kenangan
sejarah dan harapan hari
nanti. Keabadian mengental
pada detik ini, yang tidak
mungkin dipegang kecuali
kalau penantian berhenti.
Makhluk yang dikasihi Tuhan adalah batu. Ia
tak
pernah merasa resah, karena
membiarkan peristiwa
berlalu. Baginya tidak ada
penantian. Awal dan akhir
zaman dialami dengan sikap tak
peduli. Begitu juga
tak ada benci atau cinta yang
menggoda ketenangan diri.
Ia diam dalam sakit waktu bumi
hancur sampai sekecil
atomnya.
Ah, ada yang ingin jadi batu kalau
kehidupan dimulai
lagi.
SIMFONI
“Aku tidak
bermain bagi babi-babi!”
gerutu Beethoven.
Kita yang berdiri di tengah
abad
di bilang dua puluh
dan menyangka harijadi
telah tertinggal jauh
makin samar:
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar
makin samar:
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran.
Katakanlah,
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak
mendirikan
bank dan ruang gudang
dari kuil atau masjid
Kalau kita lebih menimbang
kasih orang
dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya
kepada barang
dari bayang – Atau kemunduran?
–
Katakanlah
mana lebih mulia:
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin
Semua melata di bidang
demokrasi.
Mana lebih dulu:
Tuhan atau aku
Dia tak terbayang
kalau aku tak berangan.
Tuhan dan aku saling berdahulu
seperti ayam dengan telur
Siapa dulu?
Siapa manusia pertama:
Adam, Kayumerz atau Manu
Kitab mana yang harus
dipercayai:
Quran, Avesta atau Weda Hindu.
Kapan dunia ini bermula:
di Firdaus, di Walhalla atau
Jambudwipa.
Mengapa tidak di sini, di
waktu ini
dan lahir seorang adam di
setiap detik dan tempat
dan terdengar Kalam Tuhan di
setiap sudut di darat?
Aku juga adam
yang terusir dari firdaus
karena dosa, karena kelemahan
karena goda perempuan.
Dunia berhenti dan
bermula lagi.
Mana lebih kekal:
Tubuh atau nyawa
Mana lebih haram:
Benda atau cita
Mana lebih keramat:
Angka atau makna
Makna itu keramat
karena tersimpan di hakikat.
Juga angka.
Meski jarang lagi
yang gemetar melihat angka
Gasal: tiga, tujuh
atau tiga belas
yang tersurat pada dada
tanda jasad.
Angka ganjil, angka keramat.
Ganjil seperti letak empu
terselit di antara jari.
Ganjil seperti puncak gereja
yang menunjuk ke arah mega.
Penglihatan ini makin samar.
Makin samar.
PADA DAUN GUGUR
Cemas mencekam
ketika air mengalir
dari rambut kuyup.
Di kolam redup
air membenamkan tubuh
dalam kalut.
Air itu sebagian dari laut
yang merenggut angan
ke dalam keabadian, kesepian
dan maut.
Ketakutan tidak bisa diajari
dari buku sekolah atau dari
petuah orang tua.
Ketakutan dialami oleh dia
yang terlantar
di pinggir kota tanpa ada yang
menyapa.
Ketakutan adalah hak istimewa
bagi dia
yang pernah dilanda hampa.
Ketakutan melekat pada dia
yang
selalu bertanya: untuk apa aku
ada.
Pada daun gugur satu
berulang proses perpisahan.
Nasib tak terelakkan
bagi dia yang mengikat kasih.
Tapi ah, kengerian itu yang dihadapi
dalam kekosongan. Tangis
atau senda tak mungkin
mengatasi.
Dendam lama
terpahat dalam batu.
Tidak semua pengalaman
dikisahkan kepada bumi.
Lebih baik bisu
dan membiarkan sedih lewat
tanpa saksi.
Menghadapi tekateki
badan tergolek tak peduli.
Di balik paras muka
terkuak alam lain.
Daerah asing
yang petualang tak berani
menapak.
Hutan begitu lebat
mudah menyesatkan langkah
lelaki.
Bahkan air di danau lembah
di lidah terasa getir bertuba
Perempuan! Di ribaanmu
aku lekas akan mati.
OM
Di dalam sajak tidak terjadi
suatu apa. Kejadian
sudah habis tertumpah dalam
cerita, yang berputar-
putar tanpa mengalur kepada
inti. Mana kisah baru
yang tidak mengulang lakon
dahulu? Nasib manusia
telah selesai dibaca di
hikayat lama. Tafsiran
bisa beraneka, tapi jalan
hidup berkisar pada pola
yang sama.
Tinggal kini bicara tanpa
cerita untuk mengucapkan
sakit yang terasa sampai ke
hulu hati. Bahkan kalau
bisa tanpa kata, seperti darah
yang menetes dari
luka. Tanda yang bisu, tetapi
dengan diam menguak
tabir nurani.
Sajak paling indah sama sekali
tak mengandung kejadian,
hanya suara yang pernah
diteriakkan manusia purba di
taman firdaus atau yang
digumamkan bayi waktu terbangun
malam hari: “Om”!, yang
menyebabkan jagat berkembang
membawa derita yang tak
putus-putus sampai kini.
AMBARAWA 1989
Sebelum tidur istriku menyulam
di bawah lampu temaram. Sebuah
bunga
biru dengan latar kelabu yang
akan diberi
pigura dan digantungkan di
dinding.
Aku menyempatkan diri
mengikuti
berita terakhir di koran yang
belum
dapat kubaca pagi hari.
Kami sudah lupa bahwa di kota
ini
pernah terjadi revolusi dengan
kekejaman
dan kematian. Keluarga lari
mengungsi
ke gunung dan aku turut
bergerilya
mengejar Belanda. Berapa
peluru sudah
kutembakkan di malam buta
menyerang
musuh yang menghadang dengan
senjata.
Pikiran tegang selalu oleh
cemas
dan curiga.
Kini peperangan hanya terjadi
di roman
petualangan yang kubaca dan
yang kulihat
di layar TV, jauh entah di
negeri mana.
Nampak tak nyata dan hampir
tak bisa
dipercaya.
Ah, biarlah kedamaian
berlanjut
begini. Semua – bunga,
dinding, lampu,
kursi, istri – terliput dalam
kabut
puisi. Suling mengalun
menembus
malam. Aku tak tahan lagi
melihat darah.
AKU TIDAK BISA MENULIS PUISI
LAGI
Aku tidak bisa menulis puisi
lagi
sejak di Nazi Jerman berjuta
Yahudi
dilempar ke kamar gas sehingga
mati lemas.
Aku tidak bisa menulis puisi
lagi
sejak di Afrika Selatan
pejoang-pejoang
anti-apartheid disekap
berpuluh tahun
tanpa diadili.
Aku tidak bisa menulis puisi
lagi
sejak di Birma para pengunjuk
rasa
bergelimpangan dibedili
tentara
secara keji.
Aku tidak bisa menulis puisi
lagi
sejak di Jalur Gaza
serdadu-serdadu Israel
mematahkan lengan anak-anak
Palestina
yang melawan dengan batu.
Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak
dicemplungkan
ke laut karena bang becak
melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat
berbondong-bondong
digusur dari kampung
halamannya
yang akan disulap jadi real
estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam
tebu
buat pabrik-pabrik, sedang
hasil
padi dan kedelai lebih
mendatangkan
untung dari rugi
ketika truk-truk di jalan raya
dicegat
penegak hukum yang langsung
meminta pungli
ketika keluarga tetangga
menangisi kematian
anaknya korban takbrak lari.
Aku tidak bisa menulis puisi
lagi
sejak keindahan punah dari
bumi.
Catatan Lain
Di halaman 8, ada catatan
pengarang. Begini isinya: “Simfoni I yang terhimpun dalam kumpulan sajak ini
pernah terbit sebagai Simphoni pada tahun 1957, dan kemudian mengalami cetak
ulang pada penerbit Pustaka Jaya tahun 1971 dan 1975.//Simfoni II merupakan
kelanjutannya, yang baru selesai ditulis dalam dua tahun terakhir ini. Dalam
gabungan dua kumpulan sajak ini Simfoni I menjadi pengantar bagi Simfoni
II./S.S./1989” Di halaman judul Simfoni I (1957), halaman 17, ada petikan puisi
berikut:
aku menunggu suara murni
dalam nada sebuah simfoni
bisaku hanya menunggu
sedang malam sudah larut
sekali
Di halaman judul Simfoni II
(1989), halaman 43, ada petikan puisi berikut:
Malam berulang dan
hujan turun lagi di halaman
(tetapi setiap kali lain).
Tetes air yang meleleh dari
dahi ke mulut terasa pahit
di lidah. Apa maknanya?
Aku tak berani bertanya kepada
tuan yang berhuni di rumah.